Di tengah gemuruh tantangan ekonomi dan lingkungan pasca pandemi, sebuah kisah inspiratif tumbuh dari desa di Kebumen, Jawa Tengah. Kisah ini dimulai dari keputusan sederhana namun penuh makna, kembali ke kampung halaman. Novita Hermawan dan suaminya, setelah bertahun-tahun merantau di Jakarta, memutuskan pulang ke kampung saat pandemi COVID-19 melanda. Di rumah mereka yang sederhana, berdampingan dengan kolam ikan dan rimbunnya pohon-pohon pisang, terbersit sebuah gagasan yang kelak akan mengubah hidup banyak orang.
Pohon-pohon pisang itu dulunya hanya menghasilkan buah dan pelepah yang sering kali terbuang percuma atau paling banter dijadikan pakan ikan. Namun sang suami, yang memiliki keahlian di bidang desain dan riset, melihat sesuatu yang lebih. Dari limbah pelepah pisang, mereka mulai bereksperimen dan menciptakan produk kerajinan yang bernilai tinggi. Maka lahirlah Agrominafiber Handicraft, sebuah usaha yang sejak tahun 2021 menjelma menjadi social enterprise berbasis lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.
Berpusat di Kebumen, Agrominafiber memiliki dua lini utama yaitu menjual bahan baku dan memproduksi produk jadi. Salah satu inovasi khasnya adalah produk bahan baku bernama “leles”, yaitu tali serat dari pelepah daun pisang yang dipintal secara manual. Serat ini digunakan dalam berbagai keperluan dekoratif seperti anyaman untuk home decor, dan kerajinan tangan. Dalam lini produk jadinya, Agrominafiber menawarkan beragam kreasi seperti keranjang, wall decor, karpet, hingga lampshade, semuanya dibuat dengan sentuhan kearifan lokal dan kepekaan lingkungan.

Tak hanya sampai di situ, Novita berinovasi lebih jauh dengan mengolah limbah produksi menjadi bio-leather, alternatif ramah lingkungan pengganti kulit hewani. Bioleather ini bukan hanya bentuk pengolahan limbah, tetapi simbol dari prinsip zero waste yang dipegang teguh oleh Agrominafiber. Inovasi ini turut dipamerkan dalam ajang BRI UMKM EXPO(RT) 2025, di mana Agrominafiber menjadi salah satu pelaku UMKM unggulan yang berhasil menjangkau pasar internasional seperti Belgia, Chile, dan Argentina.
Seluruh proses produksi melibatkan masyarakat lokal, terutama ibu-ibu berusia 40 hingga 60 tahun yang sebelumnya sulit mendapatkan akses pekerjaan tetap. “Kami pernah mencoba menggunakan mesin,” ujar Novita, “tapi akhirnya lebih memilih cara manual karena ingin tetap memberdayakan ibu-ibu di desa agar bisa bekerja dari rumah dan tetap produktif.” Saat permintaan meningkat, Novita membuka empat titik pengrajin di Kebumen dan kini juga menggandeng pemasok pelepah pisang kering dari Cilacap dan Magelang.
Dalam menjalankan usahanya, Novita tak hanya fokus pada pertumbuhan bisnis. Ia membangun sustainability report yang rutin disusun untuk menunjukkan kapasitas produksi, jumlah masyarakat yang diberdayakan, hingga bagaimana limbah dikelola. Laporan ini menjadi senjata penting dalam menjangkau pasar global dan memperkuat kredibilitas usaha. “Dari awal saya pikir ini hanya tentang produk,” ungkap Novita. “Tapi ternyata, ini tentang manusia dan pemberdayaan.”
Promosi dilakukan secara strategis melalui media sosial, marketplace, website, serta partisipasi aktif dalam berbagai program seperti TII (The Indonesian Institute) untuk UMKM dari Kementerian Perdagangan, INACRAFT (The Jakarta Internasional Handicraft Trade Fair) dan kegiatan yang diselenggarakan oleh stakeholder seperti BRI, Pertamina, dan program pengembangan kewirausahaan lainnya.
Dalam perjalanannya, Ibu Novita Hermawan mendapat pengakuan yang membanggakan. Ia terpilih sebagai Most Impactful Participant dalam program Women Ecosystem Catalyst (WEC) Season 2 yang digelar pada 11 Juni 2025 di Semarang. Kategori ini diberikan kepada sosok perempuan yang mampu memberi dampak luar biasa dalam pembinaan masyarakat, lingkungan, dan sosial melalui wirausaha. Bagi Novita, WEC bukan sekadar program, tetapi ruang belajar yang membuka banyak pintu. “Saya merasa sangat bangga bisa ikut WEC. Di sana saya belajar bahwa penguatan ekosistem usaha tidak bisa hanya dari luar, tapi juga harus dari dalam, harus memperkuat diri sebagai founder,” tuturnya.
ULASAN
Usaha mengolah pelepah pisang dan menjadikannya produk kerajinan merupakan bisnis yang inspiratif. Bagaimana tidak, dari barang yang semula limbah dan dibuang begitu saja, bisa dijadikan produk yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Modal awal yang dibutuhkan dapat dikatakan gratis, karena tinggal mengambil dari pekarangan/kebun yang ditumbuhi/ditanami pohon pisang atau kalaupun harus membeli harganya sangat murah.
Proses pengolahan bahan baku yang berupa pelepah pisang ini juga tidaklah sulit, mulai dari pengumpulan pelepah dari batang pisang yang sudah tua dan memilih pelepah yang tidak terlalu kering atau terlalu basah agar mudah diolah. Selanjutnya dilakukan pembersihan dengan dicuci untuk menghilangkan kotoran, debu dan getah dan dikeringkan dengan cara dijemur selama sekitar 2 – 3 hari atau menggunakan oven pengering. Selanjutnya, dilakukan pemipihan agar lebih lentur dan pemotongan sesuai ukuran kebutuhan kerajinan yang akan dibuat. Tahap berikutnya dilakukan pewarnaan dengan pewarna alami atau sintetis jika ingin memberi variasi warna. Setelah itu perakitan atau pembentukan melalui proses penganyaman sesuai dengan bentuk kerajinan yang akan dibuat, misalnya seperti tas dompet, sandal, tempat tisu, map dokumen, hiasan dinding, pigura, lampion, souvenir atau cinderamata etnik dan lain-lain. Berikutnya proses finishing dengan diberi pelapis, misal vernis agar lebih tahan lama dan tampak mengkilap dan dilanjutkan proses pengemasan yang menarik untuk dipasarkan.
Untuk penguatan dan pengawetan bahan pelepah pisang, ada beberapa cara dan bahan yang biasa digunakan, antara lain larutan Lem Kayu (PVAc) yang berfungsi sebagai penguat serat, mengikat struktur dan memberikan daya tahan terhadap kelembaban. Selain itu, larutan kapur dan garam juga sering digunakan untuk mencegah serangan jamur dan serangga. Dapat juga digunakan minyak kelapa atau minyak jarak untuk melembutkan serat, menjaga kelenturan dan tahan air. Lilin lebah (beeswax) juga dapat digunakan untuk memberikan lapisan anti air dan kilap alami. Sebagai anti jamur tambahan, juga digunakan cuka dan bakin soda untuk menekan pertumbuhan jamur terutama saat penyimpanan bahan baku dalam jangka lama.
Dari usaha pengolahan pelepah pisang menjadi barang kerajinan ini, margin yang diperoleh bisa minimal 30 – 60, bahkan bisa mencapai 80 persen tergantung jenis kerajinan yang dibuat dan proses pembuatan serta penjualan. Untuk pasar lokal dapat dilakukan via online, pameran/bazar atau komunitas, toko kerajinan dan lain-lain. Khusus produk unik dan berkelanjutan sangat potensi untuk diekspor, seperti ke Jepang, Eropa dan AS.
Kesimpulannya, bisnis pengolahan pelepah pisang menjadi bahan baku kreatif untuk produk bernilai jual tinggi, sangat dimungkinkan dan memberi peluang keuntungan yang baik. Kerajinan yang dibuat bisa menjadi sumber penghasilan berkelanjutan, terutama bagi masyarakat desa, perempuan dan kelompok ekonomi lemah. (Fer & St)